Nyai, sebuah sebutan yang lazim disematkan pada seorang perempuan khususnya yang berasal dari tanah Sunda. Namun pada zaman kolonial, pemaknaan sebutan Nyai juga punya konotasi yang tak terlalu baik.Dibuktikan dengan penjelasan sebutan Nyai di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Nyai n 1 panggilan untuk orang perempuan yang belum atau sudah kawin; 2 panggilan untuk orang perempuan yang usianya lebih tua daripada orang yang memanggil; 3 gundik orang asing (terutama orang Eropa);
Lalu sebutan nyai namun dengan pengulangan di KBBI, nyai-nyai n sebutan kepada wanita piaraan orang asing.
Ada beberapa nama tokoh perempuan zaman dulu yang disematkan sebutan nyai di depannya, seperti Nyai Saritem, Nyai Dasima, dan di Cimahi ada Nyai Itih. Sebenarnya dari mana julukan ‘Nyai’ itu mulai dipakai oleh perempuan pribumi kala itu?
Dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay, sang penulis mengatakan istilah Nyai yang digunakan berasal dari bahasa Bali. Kata itu muncul bertepatan dengan momentum perempuan Bali yang juga menjadi gundik atau perempuan simpanan dari orang-orang Eropa.
Kala itu, VOC juga menduduki Pulau Dewata yang dikenal subur pada abad ke-17. Kata ‘gundik’ artinya adalah istri tak resmi dan tidak tercatat dalam aturan perkawinan yang ada.
Tapi juga kerap dikaitkan dengan perempuan pribumi yang menjadi Nyai setelah menikah dengan meneer Belanda serta memiliki anak. Sayangnya status mereka tidak tercatat dalam kenegaraan karena pria Eropa tidak boleh menikah dengan perempuan pribumi.
Ketika Nyai berpisah dengan meneer Belanda yang dinikahi tak resmi, maka anak kandungnya akan dimiliki dari sisi patriarki atau bapak kandungnya. Literatur yang ditulis oleh Reggie Baay yang juga seorang publisis, memiliki orang tua yang dilahirkan di Indonesia dan pernah menjadi redaktur Majalah Indische Letteren.
“Dulu (zaman kolonial) itu sebutan Nyai-nyai merujuk ke gundik. Karena banyak perempuan pribumi menjadi gundik orang-orang Belanda. Saya pribadi masih dengar istilah itu sampai tahun 1980-an,” ujar pegiat sejarah Cimahi, Machmud Mubarok kepada
Padahal kata Machmud, seperti umum diketahui orang jika sebutan Nyai atau Nyi merupakan sebutan untuk perempuan Sunda, terutama yang sudah dewasa.
“Jadi orangtua (di Sunda) menyebut anak gadisnya itu nyai. Nah untuk gundik, diulang jadi nyai-nyai. Sebetulnya itu kata khusus untuk anak gadis, jadi ada pergeseran makna, dan konotasinya jadi negatif akhirnya mengerucut ke gundik,” kata Machmud.
Di Cimahi khususnya, kata Machmud, keberadaan gundik juga menjadi hal yang sempat tenar di masa penjajahan. Sebab kala itu, Cimahi menjadi salah satu tangsi militer yang sudah direncanakan oleh Belanda.
“Jadi kebetulan dulu itu Cimahi jadi pusat militer. Saat itu kan banyak tentara Belanda itu tidak membawa istri mereka, jadi sudah biasa dulu orang pribumi termasuk Cimahi ini yang asalnya babu diambil jadi gundik atau nyai-nyai,” ujar Machmud.
Lazimnya, gundik meneer Belanda bakal ditinggalkan jika sang pria terpaksa hendak kembali ke tanah kelahiran. Kerugian bagi gundiknya, selain ditinggalkan pasangan tak resminya juga tak punya hak untuk mengasuh anak yang dilahirkan.
“Jadi anak-anak itu tidak diakui, kecuali atas persetujuan pengadilan dan si ibunya itu tidak memiliki hak pengasuhan. Jadi banyak kejadian, nyai-nyai itu hanya untuk mengurus rumah, hamil, melahirkan, lalu ditinggal. Nah anaknya dibawa bapaknya ke Belanda,” kata Machmud.
Gundik di mata bangsawan Belanda juga sebetulnya sosok yang hina-dina, karena mereka dianggap tak sederajat dan alasan lainnya. Apalagi secara pemaknaan, gundik merujuk pada bini simpanan sebagai peneman di kala tak ada pasangan.
“Jadi hanya sebetulnya kalau membawa gundik sampai ke Belanda, itu dianggap tidak lazim dan hina, karena ya memang dinilai tidak sederajat,” ucap Machmud.
Sumber : Detik.com