Home » Tas Jinjing Pakai Ulang, Solusi atau Masalah Lingkungan Baru?
Environment Lifestyle News

Tas Jinjing Pakai Ulang, Solusi atau Masalah Lingkungan Baru?

Penggunaan tas jinjing sebagai pengganti kantong plastik awalnya bertujuan untuk mengurangi sampah plastik. Namun sekarang, tas jinjing justru menerbitkan “masalah” baru bagi lingkungan. Lantaran murah, bahkan bisa didapat secara cuma-cuma, banyak orang menumpuk tas-tas pakai-ulang mereka.

Sebuah unggahan dari akun Instagram kuliner @warpopski pada akhir tahun lalu, misalnya, menampakkan tumpukan tas jinjing beragam merek. Unggahan itu juga disertai takarir bernada sindiran: “Masalah lama diganti masalah baru.” Tak berapa lama, @warpopski menampilkan unggahan baru berupa tas-tas jinjing yang telah disulap menjadi apron alias celemek khusus untuk memasak. “Mayan, apron baru dari saudara-saudara kapitalisku.”

Sejak kampanye pengurangan kantong plastik digalakkan secara masif, penggunaan tas jinjing jadi semakin populer. Namun, niat hati mengurangi sampah plastik, apa daya penggunaan tas jinjing yang tak bijak justru menambah tumpukan sampah baru. Untuk mendapat gambarannya, mari ikuti simulasi situasi sederhana ini: Misalkan Anda lupa membawa tas jinjing saat pergi ke toko grosir. Ujung-ujungnya, Anda harus membeli tas baru untuk membawa barang belanjaan.

Padahal, tas-tas jinjing yang lama sudah menumpuk di rumah. Terasa dekat dan sering mengalami, bukan? Sama seperti kantong plastik, kuantitas tas jinjing sekarang jadi berlipat ganda. Meski sebagian kecil dapat didaur ulang—seperti yang dilakukan @warpopski, kebanyakan berakhir tiada guna. Sebelum sempat dipakai ulang, tas-tas jinjing itu teronggok di tempat sampah, menyangkut di saluran air atau sungai, atau jadi barang pemenuh gudang rumah. Coba saja hitung jumlah tas jinjing yang terkumpul di rumah Anda. Desainer Urban Outfitters Dmitri Siegel pernah iseng menghitung tas jinjing di rumahnya.

Dia menemukan 23 tas jinjing dari berbagai organisasi, toko, dan merek. Sebagaimana dikutip laman The Atlantic, kelimpahan benda ini mendorong konsumen untuk menganggapnya sebagai barang sekali pakai, mengalahkan tujuan awal ia dibuat. Siegel juga mengidentifikasi bahwa para desainer juga turut andil bikin fenomena kelewahan tas jinjing ini. Karena ukuran yang biasanya besar, rata, dan mudah dicetak, tas itu bagus juga sebagai barang jualan. Ketika konsumen sadar bahwa plastik sekali pakai berdampak buruk bagi lingkungan, tas jinjing akan jadi pilihan karena diasumsikan menghasilkan limbah lebih sedikit dalam jangka panjang. Namun, tas jinjing rupanya punya proses daur ulang yang mahal sehingga bakal jadi bumerang ketika dipakai berlebihan.

United Nations Environment Programme (UNEP) menyebut bahwa bahan baku tas memberi dampak berbeda secara berkelanjutan. Istilahnya “nilai siklus hidup”. “Tergantung komposisi, proses dekontruksi tas jinjing tertentu ongkosnya mahal karena harus memisahkan bahan pembuatnya.” Akibatnya, dalam banyak kasus, tas jinjing pakai-ulang justru tidak didaur ulang. Hitung-hitungan Limbah Tas Jinjing Jika dihitung dalam satuan nilai siklus hidup untuk mengurangi potensi pemanasan global, tas jinjing katun konvensional bisa digunakan kembali hingga 131 kali.

Sementara itu, kantong plastik maksimal 11 kali dan kantong kertas tiga kali. Lantaran proses pembuatan dan daur ulang yang mahal, energi serta jejak karbon tas jinjing hanya bisa ditebus dengan memakai ulang benda ini hingga batas maksimum. Prinsip pemakaiannya sama seperti pemakaian botol air isi ulang atau sedotan besi antikarat—yang juga menghabiskan banyak energi dan limbah pada proses produksi. Mari kita hitung berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah tas jinjing pakai ulang. Tujuannya jelas, supaya kita semua lebih bijak dalam menggunakan tas-tas pengganti plastik ini. Di Amerika, misalnya, sekitar 14 juta pohon ditebang setiap tahun khusus untuk membikin tas belanja kertas.

Meski bisa terurai lebih cepat, tas kertas jelas berkontribusi pada berkurangnya kuantitas pohon di Bumi. Tas jinjing yang terbuat dari kanvas katun punya sifat ringan, dapat terurai secara hayati, dan lebih tahan lama ketimbang kantong kertas standar. Namun, tas jenis ini butuh sumber daya tanah dan air yang besar untuk menghasilkan kapas (bahan utamanya). Proses produksi tas katun juga butuh banyak energi. Studi dari Kementerian Lingkungan Hidup Denmark (2018, PDF) bahkan menyebut perlu 20 ribu kali pemakaian untuk mengimbangi dampak produksi tas jinjing katun.

“Jumlah pemakaian itu setara penggunaan sehari-hari satu tas selama 54 tahun,” tulis studi tersebut. Ketika tas-tas katun didaur ulang, bagian logo yang berbahan PCV pun harus dipotong karena tak bisa didaur ulang dan sulit terurai secara kimiawi. Tas-tas berbahan plastik daur ulang, poliester, atau nilon (kain berbahan dasar plastik) sebenarnya bisa bertahan lama seperti katun. Namun, jenis-jenis ini tetap menimbulkan masalah lingkungan. Proses produksinya pun membutuhkan minyak mentah sebagai bahan baku serta energi dan sumber daya air. Itu belum lagi memperhitungkan cemaran mikroplastik yang bisa mengalir ke laut atau sumber air lain ketika tas ini dicuci. Artinya, terlepas dari niat terbaiknya, jutaan tas pakai ulang yang dirancang untuk menggantikan tas plastik konvensional juga akan berakhir di tempat pembuangan sampah. Karena itulah, kita harus memakainya secara bijak, bukan malah terus-terusan lupa dan menumpuk tas-tas jinjing di rumah.

Source : Tirto

Translate