Home » Bawaslu RI Didesak Gugat Peraturan KPU yang Berpontesi Rugikan Bacaleg Perempuan
Femele Indonesia News Politics Wanita Woman

Bawaslu RI Didesak Gugat Peraturan KPU yang Berpontesi Rugikan Bacaleg Perempuan


Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) didesak untuk mengawasi jalannya pemilu yang berkeadilan. Anggota Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota bertentangan dengan prinsip afirmasi perempuan yang diatur dalam UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). 

Titi menyebut, Pasal 8 Ayat (2) yang berakibat pada penggunaan pembulatan desimal sehingga jumlah keterwakilan perempuan di sejumlah dapil bisa kurang dari 30%. Titi mendorong agar hal ini perlu menjadi perhatian Bawaslu untuk mengajukan uji materi terhadap PKPU tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

“Penyusunan peraturan teknis adalah salah satu tahapan pemilu. Dalam peristiwa sebelumnya Bawaslu beberapa kali mengajukan uji materi PKPU ke MA dengan alasan bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Seharusnya Bawaslu juga melakukan hal yang sama terkait pengaturan keterwakilan perempuan ini. Jangan hanya membeo pada KPU padahal jelas-jelas pengaturannya inkonstitusional,” papar Titi ketika dihubungi, Sabtu (6/5).

Titi menjelaskan aturan Pasal 8 ayat (2) PKPU No.10/2023 telah menyimpang dari Pasal 245 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa daftar caleg memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Ia mencontohkan simulasi sebuah daerah pemilihan seperti Bengkulu mempunyai kursi ada 4. Apabila partai mengajukan 4 caleg, ujar Titi, hasil persentase 30% keterwakilan perempuan adalah 1,2 (satu koma dua). Jika memakai pembulatan seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023, menurutnya hasilnya dibulatkan jadi 1.

“Problemnya akan muncul sebab 1 dari 4 adalah hanya 25%, artinya kurang dari paling sedikit 30%. Bertentangan dengan Pasal 245 UU 7/2017. Seharusnya, Pasal 245 adalah prinsip utama pencalonan yang tidak boleh disimpangi,” papar Titi.

Menurut Titi, peraturan KPU itu masih sempat direvisi. Sebab, pendaftaran bakal calon anggota legislatif, yakni DPR, DPD, dan DPRD untuk Pemilu 2024 yang akan berlangsung hingga 14 Mei 2023. Selain itu, menurutnya KPU demi keadilan dan keterwakilan perempuan yang konstitusional, harus segera merevisi peraturan itu.

“Agar keterwakilan perempuan tidak kurang dari 30%. Norma dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b telah merugikan perempuan,” terang Titi.

Peraturan KPU menurutnya telah mendistorsi kebijakan afirmasi yang diatur UU Pemilu. KPU sebagai regulator teknis permilu, terang Titi, dituntut memastikan bahwa peraturan yang mereka buat sejalan dengan Konstitusi, UU Pemilu serta berbagai ketentuan kepemiluan yang ada di atasnya. Dengan demikian, KPU mampu menghadirkan kompetisi yang terlaksana secara adil dan demokratis di antara para kontestan.

“Tidak ada yang mepet untuk kepentingan menegakkan UU. KPU harus bertanggung jawab penuh atas setiap tindakan yang sudah dilakukannya. Kalau tidak dilakukan, maka KPU sudah tidak profesional dan telah bekerja dengan melanggar hukum,” tuturnya.

Peraturan KPU No.10/2023, ujar Titi, sebaiknya direvisi dan dikembalikan kepada ketentuan Pasal 245 UU 7/2017 bahwa daftar caleg setiap dapil memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan sehingga tidak boleh ada hasil pembagian yang kurang dari 30%.

“Oleh karena itu pembulatan ke atas adalah pilihan yang lebih tepat dan konstitusional,” ucapnya.

Titi menjelaskan alasan PKPU No.10/2023 inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebut bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memberikan jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara.

Sumber : Metro TV News

Translate