TRIBUNJATIM.COM – Inilah kisah wanita yang habiskan uang Rp 203 juta demi bisa mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM).
Wanita itu berasal dari Korea Selatan.
Adalah wanita bernama Cha Sa-soon yang sudah lanjut usia.
Di usia Cha Sa-soon yang tidak lagi muda, ia tetap berjuang mendapatkan SIM walau berulang kali tidak lolos menjalani ujian.
Tak tanggung-tanggung, ia terus mencoba ujian SIM sampai 960 kali dan baru dinyatakan lulus tes ini pada ujian yang ke-961.
Cha Sa-soon juga disebutkan menghabiskan sekitar 13.500 dolar AS atau setara Rp 203 juta untuk mengikuti ujian SIM sampai lulus.
Kisah Cha Sa-soon yang berjuang mendapatkan SIM sampai mengikuti ujian sebanyak 961 kali terjadi pada 2005 lalu.
Dilansir TribunJatim.com dari Kompas.com, Cha Sa-soon yang saat ini berusia 83 tahun tinggal di Wanju, sebuah daerah yang jaraknya sekitar 180 kilometer dari Ibu Kota Seoul.
Ia dilahirkan di keluarga petani dengan tujuh anak dan menghabiskan masa kecilnya belajar di sekolah informal malam dan berladang.
Kepada New York Times, Cha Sa-soon mengaku mempunyai keinginan untuk mendapatkan SIM ketika usianya sudah 60 tahun karena merasa iri dengan orang lain yang dapat mengemudi.
“Saya ingin mendapatkan SIM supaya bisa membawa cucu ke kebun binatang,” kata Cha Sa-soon.
Cha Sa-soon yang ingin mendapatkan izin mengemudi lantas mendaftarkan diri di sekolah mengemudi Jeonbuk.
Pada awalnya, ia mengikuti ujian SIM sebanyak lima kali dalam seminggu mulai April 2005.
Namun, intensitasnya berkurang menjadi dua kali seminggu dan Cha Sa-soon tidak pernah berhenti sampai lulus ujian SIM.
Perjuangan Cha Sa-soon untuk lulus ujian SIM tidak main-main, sebab ia harus menumpang bus menuju lokasi ujian.
“Di sini, kalau ketinggalan bus, harus menunggu dua jam lagi,” imbuhnya.
Di sisi lain, Cha Sa-soon juga belajar materi mengemudi sejak subuh sekitar jam 4 pagi dan sebelum tidur.
Dengan bantuan kacamata, ia mempelajari buku-buku yang sudah usang menjelang ujian SIM.
Cha Sa-soon yang sudah mempelajari materi mengemudi, awalnya gagal pada tes audio di mana pertanyaan dibacakan kepada peserta tes.
Ia kemudian beralih ke tes normal, namun belum mampu memahami beberapa istilah, seperti “regulations” dan “emergency light”.
Di sisi lain, Cha Sa-soon juga menghadapi tes tertulis selama 50 menit yang berisikan 40 butir pertanyaan pilihan ganda soal aturan jalan raya dan perawatan mobil.
“Apa yang ia lakukan pada dasarnya saat belajar sendirian adalah menghafal sebanyak mungkin pertanyaan dengan jawaban tanpa selalu tahu artinya,” kata petugas di lokasi ujian SIM, Choi Young-chul.
“Tidak mudah untuk lulus ujian dengan cara itu (menghafal),” sambungnya.
Cha Sa-soon yang terus-menerus gagal ujian SIM ternyata memiliki track record yang positif karena tes yang ke-949 kali menunjukkan kenaikan nilai.
Melihat perjuangan Cha Sa-soon yang begitu kuat, pengajar di Sekolah Mengemudi Jeonbuk turun tangan untuk mengajari wanita tua ini.
Mereka memberi Cha Sa-soon pelajaran tambahan walau ia kesulitan untuk memahami terminologi dalam mengemudi.
Kerja keras pengajar di Sekolah Mengemudi Jeonbuk akhirnya membuahkan hasil pada November 2010.
Cha Sa-soon yang menjalani ujian SIM ke-950 mendapatkan nilai 60 dari 100.
Ia juga lulus dua keterampilan mengemudik dan ujian jalan, namun baru berhasil setelah gagal sebanyak empat kali pada setiap tes.
Cha Sa-soon mengaku, ia harus membayar 5 dolar AS atau Rp 75.000 untuk biaya pendaftaran sebelum mengikuti ujian SIM.
Sampai pada akhirnya, Cha Sa-soon mendapatkan SIM setelah menjalani ujian sebanyak 961 kali.
“Rasanya seperti mendapatkan ijazah sekolah,” ujar Cha Sa-soon.
New York Times melaporkan, dari 961 kali Cha Sa-soon mengikuti ujian SIM, ia sudah menghabiskan 13.500 dolar AS atau setara Rp 203 juta.
Kelulusan Cha Sa-soon kemudian dirayakan oleh pengajar di Sekolah Mengemudi Jeonbuk yang sudah bersusah payah mengajarinya bertahun-tahun.
“Ketika ia akhirnya mendapatkan SIM, kami semua bersorak dan memeluknya, memberinya bunga,” kata salah satu pengajar, Park Su-yeon.
“Rasanya seperti beban besar jatuh dari punggung kami,” ungkapnya.
Sementara itu di Indonesia pada 2022 lalu, netizen ramai-ramai mengunggah narasi protes soal tes praktik membuat SIM.
Di antaranya unggahan itu ramai dibagikan netizen di media sosial Twitter.
Mereka menautkan twit pemberitaan Kompas TV (grup TribunJatim.com) berjudul “Kapolri Usulkan Bikin SIM Diberi 2 Kali Kesempatan Jika Gagal, Biar Tidak Makan Waktu”.
Menurut netizen, ujian SIM perlu dibuat masuk akal.
“Gak perlulah lintasan angka 8, zig zag, atau putar balik dengan kaki gak boleh nyentuh tanah. Kita cuma mau naik motor biar sampe, bukan biar bisa ngisi sirkus,” tulisnya.
Lalu, netizen membagikan video yang disebut-sebut membandingkan cara ujian praktik SIM di Indonesia dan di Taiwan.
Direktur Registrasi dan Identifikasi (Dirregident) Korlantas Polri Brigjen Pol Yusri Yunus menjelaskan, ujian SIM terbagi menjadi dua, yakni teori dan praktik.
Pada ujian praktik, pihak kepolisian mengajarkan calon pemilik SIM untuk mahir dalam berkendara.
Sementara itu, ujian teori dimaksudkan agar calon pemilik SIM memahami aturan berlalu lintas.
“Ujian praktik itu uji kompetensi bagi calon pemilik SIM supaya dia berkeselamatan di jalan,” ujarnya dikutip dari Kompas.com, Jumat.
“Karena bukan dirinya saja yang jadi selamat, tetapi orang lain juga,” sambung Yusri.
Sumber: Tribun News